Tim ilmuwan
dari London berhasil menemukan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit
manusia. Mulai dari gatal-gatal, infeksi, tekanan darah tinggi, dan kanker.
Bahan-bahan untuk obatan tersebut diambil dari kandungan kimia yang dimiliki
oleh kodok, ular, hiu, lintah, kalajengking dan lalat. Sesungguhnya, ide
menggunakan berbagai bahan baku dari alam bukanlah hal yang luar biasa. Bangsa
Indonesia sudah lama mengenal rempah-rempah sebagai sumber pengobatan,
perawatan, dan untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Bahkan banyak orang Jawa
percaya, seseorang yang sakit kuning akan sembuh bila menelan kutu bersama
pisang, sakit gatal-gatal diobati dengan daging biawak, ular, dan sejenisnya.
Prinsip
pengobatan dari binatang dan tumbuhan, juga dipercaya oleh bangsa Timur lainnya
seperti Korea, Jepang, dan Cina. Ginseng dari Korea yang sudah dimanfaatkan
berabad-abad, kini meluas penggunaannya ke berbagai negara dengan beragam
manfaatnya. Dari Jepang ada beragam obat mulai dari sup antikanker saampai
squalen dari ikan hiu botol yang dipercaya bisa memperkuat fungsi hati dan
menghaluskan kulit. Sementara di Cina yang teknologi pengobatannya sudah
berlangsung ribuan tahun, telah memanfaatkan darah ular kobra untuk mengobati
diabetes, tulang harimau untuk rematik, sampai penis harimau dan cula badak
sebagai obat kuat. Di Barat sendiri, sebenarnya seperempat dari resep obat
modernnya berbasis pada turunan substansi tanaman dan dan lima dari 30 obat
terkenal di seluruh dunia berasal dari jamur. Yang pasti, jaringan bio-prospecting
ini makin meluas. Para ilmuwan yang semula lebih mengandalkan bahan kimia
sintetis, kini berlomba-lomba kembali ke alam.
Dr. Bary Clarke
dari Musium Sejarah Alami London sangat percaya bahwa senyawa kimia dari dari
binatang amfibi dapat menghasilkan ribuan jenis senyawa dari kelenjar maupun
kulitnya yang dapat mengobati penyakit kulit dan infeksi pernapasan. Saat ini
perhatian para ahli terutama ditujukan untuk menjawab pertanyaan mengapa
binatang-binatang yang sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna bisa bertahan
dalam lingkungana buruk dengan berbagai ancaman infeksi bakteri atau jamur
patogen. Penelitian itu kemudian membuahkan hasil. Suatu serial molekuk
kompleks yang disebut peptida, nampaknya menjadi kunci potensial dalam sistem
kekebalaan tubuh kodok untuk melawan mikroba yang mematikan. Peptida yang
berhaasil diisolasi dari cakar kodok Afrika, diberi nama Maganin, dan mulai
diuji di Amerika Serikat oleh Magainin Pharmecetical. Hasil percobaan klinik
tahap awal menunjukkan, impetigo- penyakait kulit pada anak-anak
berangsur-angsur menghilang ketika diobati dengan peptida. Dari Tokyo
dilaporkan para peneliti bekerja dengan peptida yang disebut sapecin, yang
berhasil diisolaasi dari haemohymph – suatu substansi seperti darah – pada
larva lalat. Sapecin menunjukkan potensi sebagai antibiotik yang luar biasa
untuk melindungi belatung-belatung muda dari serangan milyaran bakteri di
habitatnya.
Para ahli di
Tokyo berupaya membuat senyawa yang sama dalam format yang lebih sederhana,
sehingga cukup kecil untuk melewati sistem pencernaan manusia tanpa harus
dirusak oleh enzim-enzim yang ada. Senyawa yang akan dipasarkan dalam bentuk
tablet ini diharapkan dapat melawan sejumlah bakteri yang mulai kebal
antibiotik. Dari ikan hiu, ditemukan senyawa steroid baru yang disebut
squalamine berfungsi memproteksi ikan hiu dari infeksi.
Berbagai jenis
penyakit, memang sudah mulai diobati dengan obat-obatan yang dihasilkan dari
binatang. Inhibitor ACE yang digunakan untuk mengobati jantung misalnya,
sebenarnya berasal dari turunan bisa ular yang hidup di gua-gua di Brazil. Para
ahli sudah berhasil memsintesanya dan membuat senyawa yang lebih sederhana
sehingga tidak berbahaya bila ditelan manusia. Obat ini sudah dijual di pasaran
dengan omset 1,9 milyar dollar AAS (sekitar Rp 3,6 trilyun). Kini, para ahli
juga mulai mempelajari bisa kalajengking yang diperkirakan berperan penting
dalam suatu sistem seluler, ludah lintah sebagai obat antipembekuan darah, dan
masih banyak lagi.